-->

Cari tulisan / Find an article

Wednesday, 13 June 2012

Langit Jingga Parangtritis


Aku terdiam, menatap jauh ke langit jingga pantai Parangtritis. Masih terngiang kata kata terakhir yang diucapkannya.  Kata kata yang menjadi dinding pemisah di antara kami. Kata kata yang menyiratkan kekecewaan akan sebuah penantian.
*********
“Mas,sebenarnya apa yang kamu rasakan padaku? Perhatian yang selama ini kamu berikan itu apa? Selama Ini, apa yang sebenarnya kamu mau dari aku mas?”
“Win, aku ga punya maksud buat kamu merasa ga nyaman. Aku juga ga ingin kamu menyimpan banyak pertanyaan seperti ini. Aku sayang sama kamu Win, tulus.”
“iya, kalau begitu kenapa mas ga pernah ngungkapin perasaan mas padaku. Mas hanya ngasih perhatian. Mas buat aku merasa tenang.  Buat  aku merasa nyaman saat di samping mas. Mas hampir selalu ada saat aku butuh dukungan, saat aku butuh masukan. Tapi, kenapa selama ini mas hanya diam dengan hubungan kita yang ga jelas. Apa mas suka sama orang lain?”
“No, absolutely not. Aku ga punya pacar. Kamu tahu sendiri kan, aku sudah lama ga punya pacar.”
“Iya, aku tahu. Tapi kenapa selama 2 tahun kita berhubungan dekat seperti ini, mas ga pernah minta aku menjadi pacar ato kekasih mas. Kenapa mas?”
“Win, aku suka sama kamu, hanya saja saat ini aku sedang ingin mengembangkan diriku sendiri. Mengasah kemandirianku. Dan aku ga ingin membuat hubungan yang memecah konsentrasiku.”
“Memecah konsentrasi??? Teori apa itu. Apa karena selama ini aku lebih sering ngrepotin mas dengan sikapku yang cengeng dalam menghadapi masalah. Ato karena aku selalu bertanya tentang hal hal yang menyangkut kehidupan pribadi….”
“Winda, kamu bukan gadis cengeng. Justru di mata  aku kamu gadis yang kuat. Kamu udah banyak mengalami masalah yang ga seharusnya dialami oleh gadis seusia kamu. Kamu juga sudah mengalami pahitnya hidup dalam keluarga yang ga utuh. Tapi kamu tetep bertahan. Dan itu salah satu hal yang aku suka dari kamu.”
“Mas, aku lelah. Lelah dengan semua perhatian yang sampeyan berikan. Lelah denga semua perasaan yang ga ada kejelasanya.”
.



Aku hanya terdiam. Winda juga terdiam sambil memainkan kakinya di atas pasir pantai yang hitam. Entah pola apa yang dibuatnya. Aku menghela nafas panjang sambil menerawang jauh ke atas awan. Berharap akan ada sesuatu untuk aku ucapkan. Burung burung terbang diatas bale bale tempat kami duduk. Seakan ikut penasarang dengan kata kata yang akan keluar dari mulut kami berdua.
“Win, kamu tahu? Selama aku hidup aku tak banyak menyukai wanita dengan perasaan special. Aku berhubungan baik dengan mereka sebatas teman, mungkin teman dekat. dan kamu salah satu dari wanita yang aku sendiri merasakan perasaan yang special.”
“Tapi itu tak mengubah fakta kalau dalam 2 tahun ini aku juga merasakan kebingungan yang tak kunjung selesai. Aku bingung mas, di satu sisi aku ingin memiliki seorang kekasih, seorang pacar. Tapi disisi lain, aku merasa sudah memiliki dan dimiliki oleh sampeyan. Tapi di sisi lain aku juga sadar, bahwa di antara kita ga ada hubungan apa apa. Ga ada hubungan yang jelas. Dan itu membuat aku kacau.”
Aku kembali terdiam. Kutatap lagi langit tinggi yang ,mulai menguning emas. Winda kembali memainkan kakinya di atas pasir. Kali ini ia membuat pola garis lurus. Tiba tiba ia menghentikan permainan kakkinya saat menyadari aku memperhatikannnya. Ia bersandar pada satu tiang  bale bale. Dipejamkan matanya dan menarik nafas panjang.
*********
Bruk… Seorang gadis berambut panjang menabrakku dari belakang saat aku sedang asyik menikmati segar udara pantai Parangtritis di sore hari.
“Eh maaf” ucapnya reflex.
“Ga apa apa.  Hape kamu gimana?”
“Ga apa apa juga kok.”
“Oh ya, boleh kenalan? Amrozi.”
“Winda”
“Rio”
“Tia”
“Cuma berdua aja? Biasanya orang ke sini rame rame.”
“Iya, aku ga suka yang ramai. Cari yang tenang tenang aja.” Jawabnya polos
“Mas sendirian? Mana pacarnya?” Tia ikut nimbrung.
“Iya sendirian aja. Pacar? Wow, mungkin besok kalo udah punya. He he he. U kuliah di mana Tia?”
“UNY, Pendidikan Fisika. Mas sendiri kuliah di mana?
“Aku? Hm… aku belum kuliah-e. ato mungkin ga kuliah. U, Win, satu jurusan juga sama Tia?”
“Iya, Fisika juga. Manusia manusia stress aja yang mau masuk sana.”
“he he he, berarti U stress dunk… ato jangan jangan obatnya habis? Ha ha ha”
“Engga’… Si Winda kehabisan kemenyan”
“Enak aja… U yang kehabisan dupa”
“Lho??? Kok jadi mistis gini… Emang kalo Fisika tu belajarnya sama Ki Joko Bodo ya?”
“Bukan.. tapi sama Limbad”
“Ha ha ha” mereka tertawa serentak. Entah apa maksudnya.
Aku menunjuk kearah timur, kearah batu karang. Mereka tak menjawab, hanya mengikuti langkahku. Sambil sesekali menghirup dalam dalam udara pantai yang terasa segar aku meregangkan tangan. Seperti burung yang mengepak, yang ingin terbang bebas kemanapun pergi. Dan mereka sesekali tertawa melihat tingkahku. Mungkin lucu, tapi aku menyukainya. Aku duduk di bale bale dekat batu karang. Kusandarkan bahuku di salah satu tiangnya sambil memejamkan mata dan kembali menghirup udara pantai. Entah kapan, dua orang ini sudah di sampingku dan mengarahkan kameranya padaku.
“Woy, foto artis bayar..”
“Ha ha ha. Mas, sering ke sini ya? Kayaknya menikmati banget tempat ini”
“Yup, tempat ini lebih sepi. Lenih tenang dan lebih bisa menikmati suasana pantai daripada di tempat tadi. Dan batu karang itu tempat yang aku sukai. Bisa menikmati deburan ombak sambil memandang langit jingga. Menurut U gimana Win?”
“Iya sih, di sini lebih tenang dan lebih nyaman” jawab Winda sambil memejamkan matanya yang indah.
“Wuih… kayaknya g perlu repot2 cari kemenyan nie Tia… Ada yang udah tenang dengan tempatnya”
“Ha ha ha bener banget” kata Tia
“Wo… kompakan ya…” balas Winda.

*********
“Mas, U tahu ga? Beberapa waktu lalu ortuku nanyain tentang U.”
“Oh ya, apa kata mereka?”
“Mereka menanyakan kapan U mau melamar aq.”
“Wow…. Aku belum berpikir sejauh itu Win. Lagian kan U juga masih kuliah.”
“Ya, tapi ortuku menginginkan aku menikah tahun ini.”
“Tahun ini?”
Ombak Parangtritis serasa berhenti. Matahari sore yang mulai jingga seakan akan menyiratkan perasaan di hatiku yang berkecambuk. Antara bingung, terkejut, ah semuanya bercampur aduk seperti awan yang mulai tak jelas warnanya.
“Ya tahun ini. Mereka ingin setelah aq menyelesaikan skripsiku aku langsung menikah.”
“Aneh”
“Ya, tapi itu sudah menjadi keputusan ortuku. Sampeyan juga tahu kan mas, ibuku mengindap penyakit lever yang sudah sangat kritis. Beliau memintaku agar segera menikah sebelum… sebelum hal buruk terjadi”
Winda meneteskan air mata dari bulat bola matanya yang indah. Seakan tak sampai hatinya megucapkan kalimat terakhir. Diusapnya air mata yang terlanjur menetes ke pipinya yang putih.
“jadi itu alasannya U meminta kepastian dariku?”
“Mas, 2 tahun. 2 tahun mas hatiku tanpa kepastian. Dan ketika orang tuaku menanyakan tentang pernikahan, aku tak bisa menjawab apa apa. Terlebih itu permintaan ibuku. 2 tahun bukan waktu yang pendek mas. 2 tahun itu waktu yang sangat panjang bagiku untuk tetap menolak setiap laki laki yang datang menyatakan cintanya padaku. Entah sudah berapa cowok yang aku tolak. Dan aku melakukan semua itu… ah…”
Emosi Winda terlihat mulai tak beraturan. Nafasnya tersengal. Mukanya penuh dengan kekecewaan dan keraguan.
“Win, sekali lagi maaf. Selama ini aku tidak memberikan U kepastian. Dan untuk pernikahan . . . . ”
“Jangan diteruskan” Winda memotong kata kataku
“Aku sudah tahu jawabanmu mas. Dan aku berharap semoga kau menemukan apa yang selama ini kau cari. Aku berharap semoga kau cepat menemukan dirimu sendiri” Winda mengakhiri katakatanya dengan nafas panjang seolah baru saja berlari ratusan kilometer.
Aku menunduk tanpa kata. Awan urung memberikan ide untukku lalu aku bertanya pada pasir, namun ia juga membisu.
“Dulu aku berharap, bahwa hubungan kita akan linear. Tapi ternyata tidak. Perjalanan kita teryata tak ubahnya seperti parabola yang memiliki titik balik. Dan mungkin saat inilah titik balik itu”
“Ya, kau benar Win. Tapi terkadang sebuah parabola bisa menjadi linear jika terjadi fungsi turunan”
Tiba tiba Winda berdiri dan menatapku tajam. Seolah aku adalah musuh yang selama ini ingin dibunuhnya. Seolah aku adalah pencuri dari hartanya.
“Mungkin. Tapi sayang aku hanya belajar fisika, ilmu pasti. Dan fungsi itu tidak akan terjadi jika tak ada yang merubahnya. Jika tidak berubah, maka sudah jelas. Kapanpun waktunya, kedua ujungnya tak akan bertemu dan selalu semakin jauh setiap kali waktu berjalan.”
Tanpa pamit Winda meninggalkanku. Bukan kebiasaan darinnya

*****
Rabu malam, Januari

Sebuah sms masuk di hp Sony Ericsson W660i yang sudah using milikku. Kulihat dengan cepat di antara kesibukanku mempelajari materi materi diklat yang mendekatkanku dengan yang namanya stress.

Yang terlihat kuat, tak selamanya kuat.
Yang terlihat garang tak selamanya punya nyali.
Yang terlihat  bijak tak selamanya benar
Yang terlihat baik mungkin bukan yang terbaik… untukku

Tanpa pikir panjang langsung aku singkirkan buku di hadapanku. Ku pastikan satu nomor yang ingin aku telepon, Winda.
“Win…”
“Ya” sebuah jawaban yang membuatku terbisu meski diucapkan dengan nada bergetar. Seolah bibirnya tak mampu unuk menjawab suaraku. Ayau mungkin ia menahan sebuah ledakan di hatinya.
“Aku… aku ga tahu harus berkata apa. Kau menghilang setelah hari itu. Nomor HP juga tak pernah  aktif. Gimana kabarmu Win?”
“Baik, setidaknya lebih baik dari sebelumnya” Terdengar desahan nafas, Winda mengambil nafas panjang seolah akan menyelam untuk waktu yang lama.
“Mas, aku……” Winda terdiam.
“Kenapa Win?”
Ia tak menjawab. Hanya isak tangis yang ia pelankan suaranya. Mungkin ia ingin menutupinya dariku.
“Kamu menangis, kenapa Win?”
Tiba tiba Winda menutup telepon. Ku telepon lagi nomornya. Tidak aktif. Dimatikan. Kucoba sms, pending. Arghhhh…… ingin kubanting HP di tanganku.
Oh God… whats going on???? Damn…
Aku semakin pusing memikirkan materi diklat yang bercampur kata kata Winda yang tek jelas. Mungkin ini yang namanya stress. Damn.
Kucoba lagi, dan ternyata ada jawaban.
“Win….???”
“Mas, masih ingat fungsi parabola?” pikiranku langsung tertuju pada fungsi kuadrat pada diagram cartesius.
“ Ya. Ada apa? Kesulitan menyelesaikan skripsi dengan rumus itu?”
“Bukan.”
“Lalu”
“Sebuah fungsi parabola bisa menjadi linear jika saja ada rumus turunan ada padanya. Tapi sayang itu tidak  terjadi dalam hidupku.” Winda menjawab sambil terisak.
Aku paham betul maksud dari kata katanya. Sangat paham. Tapi aku tak mampu menjawab. Aku hanya terdiam diantara buku buku diklat.
“Fungsi parabola akan membentuk garis tanpa ujung jika taka ada yang memotongnya. Dan dibutuhkan satu fungsi linear yang lain agar parabola terpotong dengan bagus” Winda meneruskan kata katanya dengan diiringi isak yang semakin menjadi kemudian menutup telepon, lagi.
Damn….. Ya, aku memang tak berani memberikan kepastian kepada Winda. Dan ini sepenuhnya salahku. Dan aku tak dapat berbuat apa apa
*****
Kelepak burung camar membuyarkan ingatanku. Matahari yang jingga rupanya telah berganti. Berganti merah kehitaman. Ya, aku memang belum bisa melupakannya. Terlebih kalau aku ke tempat ini. Langit jingga pantai Parangtritis, pertama dan terakhir kali bertemu dengannya.



Win, aku berterimakasih padamu atas apa yang sudah kau berikan. Dan kau benar, wanita tak hanya butuh perhatian dan kasih sayang. Tapi juga kepastian. Dan aku doakan semoga kau bahagia bersamanya.

No comments:

Post a Comment

Give me a feed back please....